Jumat, 18 September 2009

Kearifan Lokal dari Kepulauan Maluku

Tatkala wilayah Kepulauan Maluku, Seram, Ambon, Banda dan sekitarnya belum terkoyak oleh konflik berdarah berkepanjangan yang menelan banyak korban jiwa, wilayah yang dihuni banyak suku dengan beragam agama itu begitu damai. Selama berabad-abad masyarakat hidup rukun, saling bantu dan saling dukung dalam berbagai segi kehidupan.
Kunci kedamaian dan kerukunan itu, tidak lain adalah tradisi dan adat masyarakat setempat yang disebut “Pela Gandong.” Sebuah tradisi yang hanya memberi ruang bagi terciptanya harmoni dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, sangat mengagungkan harkat kemanusiaan secara utuh tanpa memandang perbedaan dalam wujud apapun.
“Pela Gandong” terdiri dari dua kata dalam bahasa daerah Ambon. Arti harfiahnya, “pela” berarti “kampung” dan “gandong” bermakna saudara kandung. Berdasarkan arti kata tersebut, dalam praktik kehidupan masyarakat “Pela Gandong” adalah “warga sekampung (Kepulauan Maluku) adalah saudara sekandung.” Jadi, setelah warga kampung mengikat “Pela Gandong” (yang merupakan warisan tradisi leluhur) melalui suatu upacara yang disebut “Patita” atau kenduri yang konon di masa lampau pakai upacara minum tuak segala, mereka sudah menjadi saudara sekandung.
Masyarakat Kepulauan Maluku, memegang teguh tradisi “Pela Gandong” dan secara sadar mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sebagai pemanis bibir. Orang-orang luar yang pernah berada di wilayah kepulauan itu, mungkin pernah menyaksikan masyarakat yang bergotongroyong membangun tempat ibadah – baik masjid atau gereja. Warga masyarakat yang bersatu-padu bahu-membahu mengerjakan pembangunan itu, tidak terbatas pada pemeluk agama yang tempat ibadahnya sedang dibangun. Namun banyak warga yang beragama lain ikut membantu, bukan hanya berupa tenaga namun tidak sedikit yang membawa material, makanan dan lain-lain. Ketulusan segenap lapisan warga dalam saling membantu itu, menjadi salah satu perekat yang paling kuat bagi terwujudnya kedamaian dan kerukunan.
Terlebih dari itu, yang menjadikan warga masyarakat begitu taat terhadap “Pela Gandong”, di antaranya karena ada sanksi sosial. Bagi mereka yang melanggar “Pela Gandong” akan dikucilkan dari kelompok manapun. Sanksi sosial itu berlaku bagi masyarakat Kepulauan Maluku di manapun mereka berada, termasuk mereka yang merantu di luar Maluku.
Itu sebabnya, konflik berdarah yang dampaknya masih terasa sampai sekarang, begitu menghentakkan hati nurani. Pertanyaan kita orang-orang di luar Ambon dan Maluku yang pernah menyaksikan dan merasakan indahnya harmoni pluralitas masyarakat di kepulauan itu, sudahkah “Pela Gandong” yang sedemikian sakral dan memiliki kandungan nilai-nilai luhur kini telah pulih kembali?
Semoga demikianlah adanya. Dengan begitu, angin surga kearifan local dari Kepulauan Maluku itu akan dapat menjadi motivasi bagi terciptanya kedamaian dan kerukunan di belahan bumi lainnya.

CATATAN: Terima kasih kepada masyarakat Dusun Waisarisa dan Kamal, Desa Kairatu, Kab. Maluku Tengah, atas keramahannya dalam memberikan informasi seputar “Pela Gandong”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar