Jumat, 18 September 2009

Duit di Zaman (Tak) Normal

Tatkala kolonial Belanda masih bercokol di Bumi Nusantara, rakyat Indonesia –khususnya rakyat lapisan bawah di Jawa – pernah mengalami suatu masa yang populer dengan sebutan “zaman normal”. Maksudnya, secara politis rakyat Indonesia berada dalam cengkeraman penjajah. Namun secara ekonomi mereka yang sebenarnya dalam kategori miskin tidak merasa kekurangan.
Konon, kala itu dengan memiliki uang “satu bil” yang senilai setengah sen, atau punya uang “sebenggol” setara dengan dua setengah sen, orang-orang di “zaman normal” dapat membeli berbagai barang kebutuhan hidupnya. Kalau keadaan tersebut dikisahkan saat ini, generasi sekarang pasti memandangnya sebagai utopia dan menganggapnya sebagai suatu hil yang mustahil. Sebab, bagaimana wujud mata uang bil dan benggol, generasi masa kini pasti jarang – atau mungkin tidak ada – yang pernah melihatnya.
Sekadar gambaran agar pembaca dapat membayangkan, mata uang bil dan benggol terbuat dari logam tembaga. Diameter uang logam benggol sekira dua sentimeter dengan ketebalan hampir dua milimeter. Sedangkan diameter uang bil agak lebih kecil dan ketebalannya juga lebih tipis.
Sulit memang membayangkan uang logam bil dan benggol yang sudah langka. Jangankan membayangkan mata uang logam berbahan tembaga yang langka tersebut. Terhadap mata uang Indonesia pecahan satu rupiah saja, walaupun secara resmi masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah sudah tidak banyak orang yang tahu wujudnya.
Barangkali kita masih ingat, sewaktu mantan Presiden Soeharto menyatakan, “Saya tidak punya uang sepeserpun.” Apa pula itu uang sepeser yang disebut orang nomor satu di Negeri ini?
Secara tersirat, pernyataan Kepala Negara itu dapat bermakna bahwa uang pecahan “sepeser” alias satu rupiah sampai pecahan sen, masih berlaku di Indonesia. Kendatipun dalam kenyataan pecahan uang terkecil tersebut tidak pernah beredar lagi.
Untuk membuktikan bahwa uang pecahan rupiah sampai dengan sen masih berlaku tidaklah sulit. Salah satu caranya adalah dengan mencermati saldo pada rekening tabungan bank.
Di dalam saldo rekening tabungan bank, biasanya tercantum nilai rupiah sampai pecahan terkecil. Bahkan kadang-kadang ada saldo pecahan sen yang terletak di belakang koma.
Masalahnya adalah, di zaman tidak normal ini tidak ada orang yang peduli dengan uang receh-receh tersebut. Para pengamen dan pengemis pun akan menolak manakala hanya diberi uang Rp 100,-. Ironisnya, di toko-toko seringkali terjadi, kasir mengganti uang kembalian senilai Rp 100,- atau Rp 200,- dengan sebungkus permen. Padahal, permen bukanlah alat pembayaran yang sah seperti mata uang.
Di tengah memuncaknya praktik korupsi dengan nilai triliunan rupiah, hal-hal yang remeh-remeh – apalagi hanya menyangkut uang receh – untuk kepentingan rakyat jelata tak tersentuh lagi. Barangkali wajar jika pemerintah (baca: Bank Indonesia) tidak memandang perlu menerbitkan mata uang rupiah sampai pecahan terkecil. Sebab, walau secara de jure mata uang pecahan terkecil tetap berlaku, realitasnya secara de facto mata uang tersebut sudah “tidak laku” di pasaran.
“Zaman normal” yang pernah dinikmati rakyat kecil, sebenarnya sangat berbeda dengan utopia tentang “Ratu Adil” yang diharapkan mengentaskan rakyat dari kemiskinan. Namun kedua-duanya adalah setali tiga uang alias sami mawon, tetap sebagai utopia yang tidak akan pernah mewujud secara gaib. Tragisnya, yang namanya duit sekarang bukan sebatas sebagai alat pembayaran, tetapi sudah berubah menjadi komoditi yang diperdagangkan. Seperti dalam lagu langgam Jawa ciptaan almarhum Anjar Any yang bertajuk “Enthit”, ada dialog antara Enthit dengan Dewi Sekartaji yang menyatakan, “Yen duit entek, tuku.” Maksudnya, kalau uang habis bisa membeli.
Dengan apa membelinya, hal itu multi-tafsir. Di antaranya ada yang membeli dengan mengorbankan kehormatan alias “menjual diri.”

Kearifan Lokal dari Kepulauan Maluku

Tatkala wilayah Kepulauan Maluku, Seram, Ambon, Banda dan sekitarnya belum terkoyak oleh konflik berdarah berkepanjangan yang menelan banyak korban jiwa, wilayah yang dihuni banyak suku dengan beragam agama itu begitu damai. Selama berabad-abad masyarakat hidup rukun, saling bantu dan saling dukung dalam berbagai segi kehidupan.
Kunci kedamaian dan kerukunan itu, tidak lain adalah tradisi dan adat masyarakat setempat yang disebut “Pela Gandong.” Sebuah tradisi yang hanya memberi ruang bagi terciptanya harmoni dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, sangat mengagungkan harkat kemanusiaan secara utuh tanpa memandang perbedaan dalam wujud apapun.
“Pela Gandong” terdiri dari dua kata dalam bahasa daerah Ambon. Arti harfiahnya, “pela” berarti “kampung” dan “gandong” bermakna saudara kandung. Berdasarkan arti kata tersebut, dalam praktik kehidupan masyarakat “Pela Gandong” adalah “warga sekampung (Kepulauan Maluku) adalah saudara sekandung.” Jadi, setelah warga kampung mengikat “Pela Gandong” (yang merupakan warisan tradisi leluhur) melalui suatu upacara yang disebut “Patita” atau kenduri yang konon di masa lampau pakai upacara minum tuak segala, mereka sudah menjadi saudara sekandung.
Masyarakat Kepulauan Maluku, memegang teguh tradisi “Pela Gandong” dan secara sadar mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sebagai pemanis bibir. Orang-orang luar yang pernah berada di wilayah kepulauan itu, mungkin pernah menyaksikan masyarakat yang bergotongroyong membangun tempat ibadah – baik masjid atau gereja. Warga masyarakat yang bersatu-padu bahu-membahu mengerjakan pembangunan itu, tidak terbatas pada pemeluk agama yang tempat ibadahnya sedang dibangun. Namun banyak warga yang beragama lain ikut membantu, bukan hanya berupa tenaga namun tidak sedikit yang membawa material, makanan dan lain-lain. Ketulusan segenap lapisan warga dalam saling membantu itu, menjadi salah satu perekat yang paling kuat bagi terwujudnya kedamaian dan kerukunan.
Terlebih dari itu, yang menjadikan warga masyarakat begitu taat terhadap “Pela Gandong”, di antaranya karena ada sanksi sosial. Bagi mereka yang melanggar “Pela Gandong” akan dikucilkan dari kelompok manapun. Sanksi sosial itu berlaku bagi masyarakat Kepulauan Maluku di manapun mereka berada, termasuk mereka yang merantu di luar Maluku.
Itu sebabnya, konflik berdarah yang dampaknya masih terasa sampai sekarang, begitu menghentakkan hati nurani. Pertanyaan kita orang-orang di luar Ambon dan Maluku yang pernah menyaksikan dan merasakan indahnya harmoni pluralitas masyarakat di kepulauan itu, sudahkah “Pela Gandong” yang sedemikian sakral dan memiliki kandungan nilai-nilai luhur kini telah pulih kembali?
Semoga demikianlah adanya. Dengan begitu, angin surga kearifan local dari Kepulauan Maluku itu akan dapat menjadi motivasi bagi terciptanya kedamaian dan kerukunan di belahan bumi lainnya.

CATATAN: Terima kasih kepada masyarakat Dusun Waisarisa dan Kamal, Desa Kairatu, Kab. Maluku Tengah, atas keramahannya dalam memberikan informasi seputar “Pela Gandong”

Teater Hidup Pengantin Jawa

Dalam lingkaran hidup masyarakat Timur, khususnya masyarakat Jawa di Solo dan Yogya, sejak seseorang lahir sampai di masa tua seringkali mengalami tahap-tahap yang membawa kesan estetika dan eksotisme tersendiri. Keindahan dan romantisme dalam setiap tahapan, banyak termanifestasikan dalam bentuk ritus dan upacara adat dan tradisi yang menurut kacamata modern begitu rumit. Itu sebabnya, “manusia Jawa” – katakanlah begitu – seolah-olah hidup di panggung teater yang tidak terlepas dari ritus-ritus dan upacara lingkaran kehidupan.
Bisa jadi kesan indah dan eksotis itu melintas semasa seseorang masih kanak-kanak. Seseorang yang lain mungkin menjumpai kesan keindahannya di masa puber pada usia remaja atau saat dia menginjak usia dewasa. Semua kesan itu berkembang seiring bertumbuhnya peradaban umat manusia yang kian tak terjajagi.
Di antara sederet pengalaman hidup yang memberikan kesan paling dalam (yang dialami hampir setiap orang) adalah di saat seseorang menikah dan menjadi raja sehari di pelaminan. Perkawinan dan resepsi pengantin – di kalangan masyarakat Jawa – dapat dibilang sebagai pannggung teater hidup. Pemeran utamanya adalah sepasang pengantin dan banyak orang, seperti panitia pengantin, para tetamu sampai tukang parker ikut ambil bagian kecil di panggung teater tersebut.
Bisa dibayangkan. Betapa besar biaya yang dikeluarkan untuk sebuah perhelatan di panggung teater perkawinan. Betapa rumit dan njlimetnya persiapan dan pelaksanaan sebuah pesta perkawinan. Betapa ribetnya pasangan calon pengantin bersiap diri sampai disaat keduanya naik pelaminan. Berapa banyak orang yang terlibat dalam proses perkawinan. Dan lain-lain lagi di luar biaya sosial yang merupakan bagian dari kehidupan bermasyarakat.
Pengantin dengan rangkaian tata upacara adatnya, dalam tradisi Jawa memiliki makna khusus. Seluruh tatacara yang berlangsung sejak calon pengantin melamar sampai pada puncaknya pada resepsi pengantin, memiliki banyak kandungan makna penuh symbol dan lambing-lambang.
Mencermati tatacara adat dan tradisi pengantin Jawa – khususnya yang hidup dan berkembang di kawasan Surakarta dan Yogyakarta – di balik keindahannya juga tergolong begitu unik. Mari kita mencoba mencermatinya dari tata busana pengantin Jawa gaya Surakarta dan Yogyakarta. Mulai dari gaun pengantin putri dan beskap pengantin pria yang dahulu kala biasanya bewarna gelap, berhiaskan penuh pernik-pernik hias-rias dengan kandungan makna filosofis sangat dalam. Begitu pula kain batik dengan “prada” atau warna keemasan pada bunga-bunga kain batik, biasanya berpola “Sidoluhur” atau “Sidomukti”. Kedua pola kain batik tersebut mengandung makna filosofis tentang keluhuran dan kesejahteraan.
Rias wajah pengantin putri juga bukan sembarang rias. Pengantin putri dirias yang disebut “Paes” – ada paes ageng dan paes alit. Paes ageng untuk pengantin berbusana “basahan” dan paes alit untuk pengantin berbusana kanalendran – dengan maksud agar pamor pengantin dengan inner beauty atau kecantikannya yang alami memancar keluar.
Itulah sepotong keindahan dan keunikan pengantin Jawa yang kita cermati secara sekilas. Keindahan dan keunikan tersebut selama ini sebatas didisuguhkan kepada para kerabat dan handaitolan yang hadir sebagai tamu resepsi pengantin. Padahal, bisa jadi para tamu tersebut telah jenuh menyaksikan prosesi dan upacara pengantin. Upacara tradisi, seperti sungkeman, upacara krobongan berupa “kacar-kucur”, “dulangan”, “bobot-timbang” dan lain-lain bagi masyarakat Jawa mungkin sudah tidak menarik.
Prosesi dan upacara pengantin menurut tatacara adat Jawa yang indah dan eksotis, adalah daya magnet yang layak sebagai sebuah atraksi. Betapa sayang apabila mutiara tradisi yang sedemikian adi, begitu saja berlalu tertelan zaman. Bagi yang berminat (apalagi bagi wisatawan mancanegara ) atau mungkin ingin mengadakan resepsi pengantin dengan tata upacara adat Jawa, tidaklah terlampau sulit. Carilah di salah satu sumber budaya Jawa, Surakarta atau Yogyakarta..
Temukan!! “Keunikan dan Keindahan Pengantin Jawa”.

Sultan & Sunan di Keraton Jawa

Sebutan Sultan bagi seorang raja, terdapat di berbagai Negara. Di Malaysia, banyak ditemukan raja bergelar sultan. Di Negeri Jiran itu, di antaranya ada Sultan Johor, Sultan Kelantan dan sebagainya. Di Brunei Darussalam, Kepala Negaranya juga seorang Sultan bernama, Sultan Hasanal Bolkiah.
Di Bumi Nusantara, sejak semasa zaman aristokrasi dulu sampai di abad modern ini masih banyak raja – meski tanpa kerajaan yang berdaulat mandiri – yang menyandang sesebutan sultan. Dari ujung timur Indonesia ada Sultan Ternate, di Bumi Sulawesi ada Sultan Hasanudin, kemudian di daerah lain ada Sultan Siak, di Banten zaman baheula ada Sultan Banten, di Cirebon ada Sultan Cirebon dan masih banyak lagi. Barangkali yang paling popular di masa kini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono X yang bertahta di Keraton Yogyakarta.
Dalam tradisi keraton Jawa sendiri – dalam hal ini Keraton Surakarta Hadiningrat dan Keraton Yogyakarta Hadiningrat yang merupakan penerus dinasti Mataram – ada dua sebutan raja di masing-masing keraton. Di Yogyakarta, raja bergelar Sultan, sedangkan di Surakarta raja bergelar Sunan.
Bila dirunut sejarahnya, digunakannya gelar sultan dan sunan di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, baru dimulai sejak zaman kerajaan Demak Bintoro yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa. Sebelumnya, di kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha, seperti Kerajaan Singasari, Daha, Kediri sampai Kerajaan Majapahit yang kekuasaannya meliputi wilayah Nusantara, tidak menggunakan gelar sultan dan sunan.
KRT Wasesowinoto dalam tulisan “Lenggahe Abdidalem Keraton Ngeayogyakarta Hadiningrat” menjelaskan, sesebutan Sultan dan Sunan berasal dari bahasa Arab, “Sulthon” dan “Suhun”. Sulthon, makna harfiahnya adalah penguasa. Dalam memahami lebih dalam arti sesebutan Sultan yang berasal dari kata “sulthon” tersebut, dapat disimak dari kata Sallatho yang berarti memberi kuasa. Menurut KRT Wasesowinoto, Allah memberi kekuasaan kepada umat yang bersih, baik dan suci, yaitu umat yang menyandang sesebutan Sultan tadi. Apakah orang-orang yang diberi nama dengan Sultan di luar penguasan keraton, seperti Sultan Saladin, misalnya,
Sedangkan Suhun mengandung makna yang dipermuliakan atau dalam bahasa Jawa bermakna “pundhi”. Hal itu berarti Sunan yang merupakan kependekan dari kata Susuhunan, dalam kosakata Jawa dimaknai “pepundhen”, yaitu yang “dipundhi-pundhi.” Selain itu, ada juga yang menyandingkan sesebutan Sunan dengan bahasa Arab “Sunnah” yang artinya kebiasaan. KRT Wasesowinoto menyabutkan, kata Sunnah yang diserap menjadi Sunan dikaitkan dengan kebiasaan Nabi Muhammad SAW atau Sunnah Nabi, baik kebiasaan perilaku maupun ucapan. Hal itu berarti Sunan atau Susuhunan pada intinya mengandung makna luhur, bahwa umat yang menyandang sesebutan tersebut berkewajiban melaksanakan segala kebiasaan, tingkah laku dan ucapan yang bobotnya setara dengan tindakan dan ucapan Nabi.
Dalam tradisi Keraton Surakarta dan Yogyakarta, Sunan dan Sultan memiliki kedudukan penting dalam agama Islam. Raja Jawa adalah seorang pemimpin dan pelaksana syariat agama. Sebab itu, gelar Sunan Paku Buwono maupun Sultan Hamengkubuwono adalah, Sayidin Panata Gama Kalifatullah yang makna harfiahnya, pemimpin pengatur agama sebagai kalifah Allah SWT.